Info diinginkan :

Minggu, 19 April 2009

PPUI menolak RUU-PKH yang Sudah ada di PANJA DPR-RI


My title

RUU Peternakan & Kesehatan Hewan adalah

Inkonstitusional


Membaca harian KOMPAS tanggal 23 Februari 2009 pada halaman 18 berjudul “RUU Peternakan Disinsentif” dengan dasar bahasan sapi di Indonesia segera punah dikaitkan dengan bahasan DPR-RI tentang RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU-PKH) maka kami dari PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia) merasa bertanggung jawab untuk memberikan masukan tentang RUU-PKH ini kepada Pemerintah dan DPR-RI. Adapun masukan yang kami maksudkan adalah :

1. Unggas (Ayam pedaging dan Petelur) adalah termasuk kategori hewan kecil yang telah berjalan secara komersial sejak Tahun 1966 dan tahun 1980 ditambah dengan Broilerisasi (BIMAS Ayam Ras pedaging) hingga sekarang Tahun 2009. Perputaran uang pada bisnis ini telah mencapai lebih dari Rp. 100 Trilliun per Tahun.

2. Sapi adalah termasuk kategori hewan besar yang sudah sangat lama menjadi hewan komersial hingga sekarang Tahun 2009 dan perputaran uang pada bisnis sapi yang bersifat jangka panjang serta nilai komersialnya relative lebih kecil dengan bisnis perunggasan.

Memahami besarnya perbandingan perputaran uang pada dua butir diatas, maka sorotan utama pembahasan RUU-PKH sebenarnya adalah yang berkaitan dengan Perunggasan, walaupun kita tidak boleh mengabaikan masalah protein yang berasal dari sapi. Berita di harian KOMPAS tanggal 23 Februari 2009 tersebut adalah suatu indikasi upaya dari kelompok yang berkepentingan terhadap RUU-PKH untuk mengalihkan sasaran objek RUU-PKH dari peternakan Unggas kepada peternakan Sapi.

Subtansi UU6/67 adalah :

1. Kesempatan berusaha dan pemberdayaan lapangan pekerjaan,

2. Penyediaan protein hewani yang cukup dan terjangkau, serta pemberdayaan lahan tanah dan aneka potensi Dalam Negeri lainnya seperti, Pertanian jagung, padi-dedak, singkong/gaplek, kacang-kacangan dan Perikanan.

3. export.


Sedangkan substansi RUU-PKH adalah :

1. Industri yang terintegrasi,

2. Ketahanan pangan yang tidak mengerakkan pertanian, perikanan.

3. Hanya mengandalkan pasar dalam negeri.


RUU-PKH adalah Inkonstitusional :


Pada situasi krisis ekonomi Dalam Negeri yang belum pulih ditambah dengan dampak dari krisis keuangan Kapitalis global saat ini, Pola pembangunan ekonomi di Indonesia agar dapat berdaya tahan dan segera dapat bangkit adalah menjalankan kegiatan ekonomi yang bersifat Padat Karya/pemberdayaan masyarakat, dalam swasembada pertanian dan ini tercantum dalam UU No.6/1967. Menteri Pertanian/Pemerintah mengatakan UU N0.6/1967 tidak relevan lagi, padahal selama ini, UU No.6/1967 belum dijalankan dengan sepenuhnya oleh Pemerintah dalam membangun Peternakan di Indonesia. Adanya penggantian UU No.6/1967 dengan RUU-PKH maka terjadilah perubahan pola pembangunan Peternakan dari pola yang melibatkan sebanyak mungkin masyarakat untuk dapat berusaha dibidang Peternakan menjadi Usaha Peternakan yang dijalankan secara industri terintegrasi yang bersifat kapitalistis. Kita ketahui bersama pola kapitalistis saat ini sedang terpuruk dinegara kapitalis yang menjalar dalam negeri. Justru pemikiran RUU-PKH inilah yang tidak relevan. Hal ini dapat ditunjukkan setelah mempelajari Pasal-pasal dalam RUU-PKH yang sangat kental terinfiltrasi dengan pemikiran Kapitalis Global/PMA integrator yang saat ini menguasai lebih dari 60% bisnis unggas beromset lebih dari Rp.100T/Tahun di Indonesia.

Revisi terhadap UU No6 Tahun 1967 bukanlah hal tabu, tapi RUU-PKH yang ada sekarang yang akan menggantikan UU No.6/1967 adalah inkonstitusional karena berlawanan dengan :

a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan korelasi Pasal-Pasal lainnya;

b. UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 1970;

c. UU No.6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan;

yang masih berlaku sampai saat ini terutama melanggar Pasal 5, Pasal 8c dan Pasal 10 ayat 1; 2.

Bagi Pemerintah yang tidak menjalankan UU juga harus bertanggung jawab karena

membiarkan/membebaskan para pelanggar UU dalam periode yang cukup panjang.

d. UU No.6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

e. UU No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian;

f. UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil; yaitu Pasal 1,2,3,4 dan Pasal 6,7,8,9,10,11,12,13,14, Pasal 16, Pasal 26,27,28,29,30,31.

g. UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; yaitu Pasal 2,3,4,5,6,7, Pasal 11,13,,14,15 dan Pasal 17.

h. PP No. 16 Tahun 1977 Tentang Usaha Peternakan;

i. PP No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan;

j. PP No. 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil;

k. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Karena aktifitas dalam kawasan peternakan banyak berada di Daerah-daerah.


Memperhatikan serta menimbang bahwa dalam rangka memberikan jaminan kepastian usaha dan rasa keadilan berusaha bagi seluruh rakyat Indonensia, meningkatkan kesempatan berusaha serta efisiensi dan daya saing usaha peternakan ayam ras dalam globalisasi perdagangan saat ini telah diterbitkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang menjamin kepastian usaha peternakan ayam ras berupa :

Dasar pemikirannya yang diambil dari peraturan dan perundang-undangan tersebut diatas. Maka wajarlah bagi para Anggota DPR-RI yang sedang membahas RUU-PKH untuk segera menyadari bahwa RUU-PKH adalah inkontitusional dan kami mengharapkan agar RUU-PKH ini dibatalkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kehancuran dan adanya kelanjutan eksploitasi usaha peternakan di Indonesia oleh pihak asing.


Exploitasi Pihak Asing di Usaha Prunggasan Nasional :


Membaca dan memahami UU No.6 Tahun 1967 sebanyak 27 Pasal 9 Bab, diantaranya bunyi Pasal 2 adalah, “ Dibidang peternakan dan pemeliharaan kesehatan hewan diadakan perombakan dan pembangunan-pembangunan dengan tujuan utama penambahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia untuk dapat memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil merata dan cukup”. Selanjutnya pada Bab II Pasal 8 Tujan peternakan “Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk : c. mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani peternak”. Kemudian pada Pasal 10 tentang Peternakan Rakyat ayat (1) Pemerintah mengusahakan agar sebanyak mungkin rakyat menyelenggarakan peternakan.

Melihat kenyataan perunggasan Nasional sejak Tahun 1979 sampai sekarang ini, sangat banyak pihak swasta perusahaan besar PMA dan Pemerintah melanggar Pasal-pasal didalam UU No.6/1967tidak ditindak. Peternakan rakyat semakin lama semakin sangat berkurang dan bahkan nyaris hilang, apalagi dengan upaya mempertinggi taraf hidup bagi rakyat petani peternak semakin jauh saja.

Kita berharap dan beranggapan selama ini, dengan masuknya investasi asing dibidang peternakan unggas, akan terjadi perkembangan dan pertumbuhan usaha rakyat untuk mempertinggi taraf hidup rakyat, sesuai dengan bunyi Pasal 2 yang menyatakan pembangunan peternakan di Indonesia harus diselenggarakan secara adil dan merata, tidak saling melakukan pemerasan seseorang terhadap orang lain (Pasal 5). Malah kenyataannya adalah sebaliknya dan terlihat nyata pihak Pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan matinya usaha peternakan rakyat selama ini.

Kenaikan/penurunan yang tajam harga bibit DOC yang mendadak dan serentak disemua Breeding Farm (BF) begitu juga dengan kenaikan/penurunan harga Pakan disemua Perusahaan Makanan Ternak (PMT) tanpa melalui upaya musyawarah terlebih dahulu dengan pelaku unggas terkait, bentuk kejahatan ekonomi seperti apakah ini ? Tidakkah ini merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 5 tersebut ? Masuknya para perusahaan PMA kedalam usaha budidaya komersial sehingga menggusur usaha budidaya rakyat adalah juga merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap Pasal 8 UU No.6/1967. Selama ini Pemerintah belum menjalankan UU No.6/1967 ini secara benar dan konsekwen. Hal ini terbukti dengan semakin terpuruknya usaha budidaya peternakan unggas yang dilakukan oleh Peternak rakyat mandiri dan kondisi inilah yang memicu permasalahan perunggasan Nasional selama ini.

RUU-PKH adalah Legalisasi Kejahatan Ekonomi Secara Monopoli, Monopsoni & Kartel :

RUU-PKH adalah wujud legalisasi terhadap kejahatan ekonomi Monopoli & Kartel, Monopsoni yang berjalan selama ini yang dilakukan oleh Perusahaan PMA. RUU-PKH sangat berlawanan dengan UUD’45, UU No.6/67(PKH), UU No.9/95 (Membaca dan memperhatikan Usaha kecil) UU No.5/99 (persaingan usaha) dan UU Otda.

Kita ketahui bersama, bahwa potensi ayam ras Nasional cukup besar terutama :

- Potensi Pasar Indonesia adalah No.4 terbesar di dunia.

- Kebutuhan Pasar Daging Unggas Nasional ± 1,2 - 1,5 Juta Ton/Tahun.

- Kebutuhan DOC ± 1,2 -1,5 Milyar ekor/Tahun.

- Kebutuhan Pakan ± 7 - 8 Juta Ton/Tahun.

- Perputaran uang di usaha unggas Nasional lebih dari Rp. 100 Trilliun/Tahun.

- Dapat menyerap kesempatan usaha bagi ± 24.000 alumni Fapet & FKH.

- Lapangan pekerjaan ± 240.000 orang tenaga kerja di kandang (± 5.000 ekor/orang).

- Total SDM yang terlibat dalam usaha perunggasan sebanyak ± 2,5 juta orang.

Potensi yang besar ini, bagi Pemerintah sangat berpeluang untuk dapat melakukan percepatan pendapatan masyarakat dengan melibatkan rakyat sebanyak-banyaknya disektor peternakan unggas ayam ras. Oleh karena itu UU No.6/1967 yang masih relevan ini telah mencantumkan kepentingan rakyat banyak untuk terlibat didalam sektor ekonomi peternakan dan sudah merupakan hak yang utuh bagi masyarakat banyak yang telah tertuang-terpateri dalam bentuk UU No.6/1967.


RUU-PKH Mematikan Swasembada Peternak Mandiri Berbasis Kerakyatan :


Apabila UU-PKH ini dipaksakan dan disyahkan menjadi UU baru maka potensi ekonomi yang dimiliki oleh para peternak rakyat serta investasi Pemerintah selama ini akan sirna seperti :

- Peluang 80.000 lebih peternak rakyat akan kehilangan mata pencarian.

- Terjadinya pengangguran sebanyak ±200.000 para pekerja kandang.

- Hilangnya nilai investasi Trilliunan rupiah dana Pemerintah sejak perintisan Bimas & Inmas

Ayam Ras.

- Hilangnya peluang usaha bagi ± 24.000 alumni Fapet & FKH.

- Hilangnya peluang pekerjaan bagi ± 240.000 orang tenaga kerja baru di kandang.

- Hilangnya total SDM yang terlibat dalam usaha perunggasan sebanyak ± 2,5 juta orang.

- Tidak bisa diharapkan stabilnya produksi jagung Dalam Negeri.


Kesempatan masyarakat banyak dalam perputaran uang di usaha unggas Nasional lebih dari Rp. 100 Trilliun/Tahun akan hilang dan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan integrator PMA. Bila keuntungan integrator PMA. 15%/Tahun, maka perusahaan integrator memiliki keuntungan ± Rp. 15 Trilliun/Tahun selanjutnya bila umur UU dapat mencapai ± 30 Tahun maka perusahaan integrator memiliki peluang keuntungan sebesar 30 x Rp. 15 Trilliun/Tahun adalah ± 450 Trilliun (merupakan nilai UU). Seandainya RUU-PKH dalam proses pengesahan di DPR-RI apalagi menjelang PEMILU ini terjadi politisasi serta kemungkinan manipulasi uang dalam milyaran rupiah, betapa sangat murahnya nilai DPR-RI tersebut.

Tahun 2007 yang lalu hingga 2008 adalah tahun paceklik dan kematian bagi peternak rakyat dan tahun mas/kejayaan bagi perusahaan integrator terutama PMA disebabkan :

1. Pangsa pasar yang dimiliki peternak rakyat di pasar tradisional selama ini, akan diambil sepenuhnya oleh para perusahaan integrator PMA, sebagai dampak Kartelisasi & Monopoli usaha PMA sehingga penguasaan pasar bagi usaha PMA menjadi ±60% lebih (Monopoli murni pelanggaran UU 5/99).

2. Kandang-kandang para peternak rakyat yang telah kosong, sekarang ini disewa oleh perusahaan integrator PMA.(Peternak menjadi buruh kacung dikandang dan dilahannya sendiri)

3. UU-PKH dan UU-PMA yang baru memihak kepada para perusahaan Asing dan menyudutkan usaha ekonomi rakyat dan UU-PKH adalah sinkronisasi dari UU-PMA yang telah disyahkan DPR-RI.


Karena UU No.6 Tahun 1967 tidak dijalankan maka bisnis beromzet lebih dari Rp.100T tersebut dikuasai PMA & PMDN kapitalis > 60% (PMA Thai > 40%). Kondisi ini yang menurut mereka PMA integrator saat ini menguasai >60% pangsa pasar Nasional. (Produsen DOC dan Pakan ternak Nasional dikuasai 70% oleh PMA integrator)

Potensi pasar Dalam Negeri yang cukup besar ini, harus memberikan dampak peluang usaha sebesar-besarnya bagi masyarakat banyak sesuai dengan misi UUD 1945 dan UU No. 6/1967. Oleh karena itu, para pelaku perunggasan Nasional bersama Pemerintah bersegera merubah pola pikir dan pola tindak kearah pemberdayaan masyarakat Indonesia ke depan dalam menyongsong kebangkitan bangsa Indonesia yang diidamkan dan di cita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia tercinta ini selanjutnya menantikan tindakan nyata keberpihakannya kepada Rakyat Indonesia.


Jakarta, 28 Februari 2009.

Dewan Pimpinan Pusat

Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (DPP-PPUI)


Tembusan disampaikan Kepada Yth,

1. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),

2. Ketua MPR RI,

3. Kejaksaan Agung RI di Jakarta;

4. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta;

5. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta;

6. KAPOLRI di Jakarta;

7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI di Jakarta;

8. Menteri Pertanian RI di Jakarta,

9. Assosiasi-Assosiasi Peternakan.

10. Media Massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar anda