Info diinginkan :

Senin, 27 April 2009

Politik Kotor Dalam Ekonomi Unggas

My tit
UU Peternakan yang Belum Mampu Dijalankan Selama ini
Kenapa harus diubah ?

Membaca dan memahami UU No.6 Tahun 1967 sebanyak 27 Pasal 9 Bab, diantaranya bunyi Pasal 2 adalah, “ Dibidang peternakan dan pemeliharaan kesehatan hewan diadakan perombakan dan pembangunan-pembangunan dengan tujuan utama penambahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia untuk dapat memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil merata dan cukup”. Selanjutnya pada Bab II Pasal 8 Tujan peternakan “ Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk : c. mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani peternak”. Kemudian pada Pasal 10 tentang Peternakan Rakyat ayat (1) Pemerintah mengusahakan agar sebanyak mungkin rakyat menye-lenggarakan peternakan.

Melihat kenyataan perunggasan Nasional sejak Tahun 1979 sampai sekarang ini, sangat banyak pihak swasta perusahaan besar PMA dan Pemerintah melanggar Pasal-pasal didalam UU No.6/1967. Peternakan rakyat semakin lama semakin sangat berkurang dan bahkan nyaris hilang, apalagi dengan upaya mempertinggi taraf hidup bagi rakyat petani peternak adalah semakin jauh saja.
Kita berharap dan beranggapan selama ini, dengan masuknya investasi asing dibidang peternakan unggas, akan terjadi perkembangan dan pertumbuhan usaha rakyat untuk mempertinggi taraf hidup rakyat, sesuai dengan bunyi Pasal 2 yang menyatakan pembangunan peternakan di Indonesia harus diselenggarakan secara adil dan merata, tidak saling melakukan pemerasan seseorang terhadap orang lain (Pasal 5). Malah kenyataannya adalah sebaliknya dan terlihat nyata pihak Pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan matinya usaha peternakan rakyat selama ini.

Untuk Siapa Saja Pemerintah dan Masyarakat


My title

REGULATION LOUNDRING

Dalam Lembaga Pendidikan Tinggi Kita


Pernyataan Rektor IPB Dr. Ir. Herry Suhardiyanto MSc. Mengatakan “IPB Untuk Mada Depan Bangsa” adalah merupakan pernyataan yang sangat diharapkan masyarakat. Apalagi IPB berani memposisikan diri pada garda terdepan dengan perspektif baru “Pembangunan Nasional yang berbasis Pertanian dalam arti yang luas dan mendasarkan pada prinsip-prinsip berkedaulatan, berkeadilan dan berkelanjutan”. Hal ini adalah selaras dengan hakekat UUD 1945 yang telah diimplementasikan dalam UU No.6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.


Pernyataan serta keberanian memposisikan IPB tersebut diatas, adalah sangat bertentangan dengan realita yang terjadi selama ini di IPB dimana semangat dadakan untuk menggantikan UU No.6 Tahun 1967 muncul dari para Dosen Senior IPB yang berpuncak pada pembentukan Tim 11 (terdiri dari para dosen senior IPB) untuk membahas serta mengkaji relevansi UU No.6 Tahun 1967 dengan kondisi peternakan saat ini. Hal yang sangat menarik, MENTAN-RI yang saat itu DR.Ir. Bungaran Saragih memfasilitasi Tim 11 dengan menerbitkan SK-Mentan No. …….. yang khusus untuk membahas serta mengkaji UU No.6 Tahun 1967 untuk diganti dengan UU yang baru, sehingga dalam proses kajian yang katanya cukup panjang dengan biaya yang cukup besar sampai lebih dari Rp. 2 Milyar lahirlah Draft Rancangan UU Pertanian dan Kesehatan Hewan (UU-PKH). Saat ini RUU-PKH tersebut telah dirampungkan di Komisi IV DPR-RI yang pembahasannya sangat tergesa-gesa 50 hari menjelang PEMILU 2009 selanjutnya telah sampai pada PANJA DPR-RI. Bagaimana kita bisa mendapatkan kualitas UU yang baik dan benar serta berkeadilan kalau dibahas oleh DPR-RI secara tergesa-gesa.


Perjalanan panjang RUU-PKH.


Berita Harian Pikiran Rakyat tanggal 12 Maret 2009

Usaha Peternakan Rakyat Terancam PPUI Minta RUU PKH Dibatalkan

BANDUNG, (PR).-
Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) meminta pemerintah dan DPR RI tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU PKH) yang dikabarkan kini sudah masuk Panja RUU. Mereka menilai RUU PKH sarat kepentingan politis dari pemodal asing, apalagi pembahasannya terkesan dipaksakan yang hanya enam puluh hari menjelang Pemilu 2009.

Staf Ahli PPUI Waryo Sahru dan Ashwin Pulungan, di Bandung, Kamis (12/3) mengatakan, jika RUU PKH itu disahkan, diperhitungkan akan menghabisi usaha peternakan rakyat, terutama unggas. Soalnya, ada substansi yang akan dijadikan "jembatan" oleh perusahaan modal asing (PMA) unggas untuk menghabisi peluang usaha peternakan unggas rakyat berkembang, yaitu industri yang terintegrasi.

Mereka menduga adanya kelompok PMA yang berupaya memengaruhi para politisi di Indonesia, dalam suasana menjelang pemilu ini. Padahal, dampaknya akan sangat merugikan peternak rakyat, sedikitnya sampai tiga puluh tahun ke depan, seperti normalnya masa berlaku undang-undang.


Mengapa PPUI Minta RUU-PKH di Batalkan ?


Memperhatikan serta melihat gerakan untuk mengubah UU Peternakan, sehingga menjadi RUU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, terlihat nyata disini, yang menginginkan perubahan UU tersebut adalah masyarakat perguruan tinggi peternakan dan lembaga penelitian serta Ditjen Bina Pronak Departemen Pertanian yang dikompori dan disponsori serta difasilitator dibelakangnya dengan dana yang cukup besar oleh para perusahaan besar PMA dibidang perunggasan. Masyarakat praktisi usaha perunggasan terutama disektor budidaya, tidak sama sekali menginginkan perubahan UU No.6/1967 tersebut. Hal ini terbukti sampai saat ini belum ada suatu permohonan dari berbagai asosiasi perunggasan maupun dari asosiasi hewan besar untuk mengganti UU No.6/1967 tersebut. Hal yang sangat lucu, adalah yang paling bersemangat dan bernafsu serta heroik untuk melakukan perubahan UU No.6/1967 ini adalah Perguruan Tinggi Peternakan seperti IPB, UGM, UNIBRAW, UNRAM dan Lembaga Penelitian. Mereka ini adalah SDM teoriwan yang belum menghayati dan menyelami permasalahan nyata dan rinci tentang usaha ekonomi peternakan Nasional terutama disektor perunggasan dan hewan besar. Bagaimana mungkin dapat dihasilkan RUU yang bersifat adil serta mampu mengadopsi aneka permasalahan sosial ekonomi peternakan itu sendiri kalau pelaksana RUU-nya tidak menguasai permasalahan dilapangan yang seobjektif mungkin. Tidak mungkin bisa didapat suatu hasil RUU yang baik serta mencakup kepentingan semua pihak hanya melalui mekanisme Lokakarya dan Seminar serta pertemuan-pertemuan sepihak. Untuk mendapatkan RUU yang baik, harus melibatkan semua pihak dan yang berperan adalah SDM yang sangat menguasai materi permasalahan peternakan Nasional serta para praktisi dan para ahli dibidang peternakan.

Kita ketahui bersama, bahwa potensi ayam ras Nasional cukup besar terutama :

- Potensi Pasar Indonesia adalah No.4 terbesar di dunia.

- Kebutuhan Pasar Daging Unggas Nasional ± 1,2 - 1,5 Juta Ton/Tahun ; ± 800 ribu Ton telur/Tahun.

- Kebutuhan DOC ± 1,2 -1,5 Milyar ekor/Tahun.

- Kebutuhan Pakan ± 5,5 - 6 Juta Ton/Tahun.

- Perputaran uang di usaha unggas Nasional saat ini telah mencapai ± Rp. 100 Trilliun/Tahun.

- Dapat menyerap kesempatan usaha bagi ± 24.000 alumni Fapet & FKH.

- Lapangan pekerjaan ± 2,5 Juta orang tenaga kerja di sektor usaha perunggasan.


Sebenarnya potensi yang besar ini, bagi Pemerintah sangat berpeluang untuk dapat melakukan percepatan pendapatan masyarakat dengan melibatkan rakyat sebanyak-banyaknya disektor peternakan unggas ayam ras. Oleh karena itu UU No.6/1967 yang masih relevan ini sudah mencantumkan kepentingan rakyat banyak untuk terlibat dalam disektor ekonomi peternakan dan sudah merupakan hak patent bagi peternak-rakyat yang telah tertuang dalam bentuk UU No.6/1967.


Selama ini kami memperhatikan pelaksanaan lokakarya maupun seminar yang dilakukan oleh perguruan tinggi peternakan terhadap RUU ini, tidak transparan termasuk naskah RUU-nya yang tidak disosialisasikan kepada para pelaku peternakan di Indonesia. Kami dari PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia) yang telah lama berkecimpung didalam praktek budidaya serta permasalahan nyata dan rinci tentang sosial ekonomi perunggasan Nasional, belum pernah mendapatkan naskah RUU tersebut apalagi diundang didalam banyak pertemuan RUU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini pasti menimbulkan tanda tanya bagi kami peternak rakyat, ada apa dibalik proses pembuatan RUU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ini ? Apakah untuk memuluskan kehendak dan selera murahan segelintir para perusahaan PMA perunggasan untuk melindungi serta melegalisir pelanggaran-pelanggaran dan manipulasi yang selama ini mereka lakukan ? Inilah suatu bukti konspirasi yang dilakukan oleh pihak asing dalam potensi ekonomi unggas Nasional.


Siapakah Tim Perumus (Tim 11) RUU-PKH ?

Selama ini yang terus berupaya agar RUU-PKH untuk dijadikan UU adalah orang-orang yang mengaku-aku memiliki intelektualitas, integritas dan dedikasi tinggi padahal sebenarnya kalau dilihat dari hasil kerja mereka dari RUU-PKH mereka adalah penghianat perunggasan Nasional yang seharusnya melibatkan sebanyak mungkin rakyat dalam usaha peternakan. Mereka bahkan memuluskan upaya penjajahan dalam usaha ekonomi perunggasan Nasional.


Banyak seminar-seminar terselubung yang diselenggarakan di Universitas maupun di gedung umum seolah-olah murni dari mahasiswa atau asosiasi peternak yang hanya semata untuk mensosialisasikan RUU-PKH. Hasil investigasi kita, gerakan sosialisasi ini didanai oleh PMA integrated yang mendominasi dan tergabung dalam GPPU & GPMT.

Formasi Perumus

Tim 11

Jumlah (Org)

Professi

Sebagai

Keberpihakan kepada PMA integrated

1. Ketua ISPI

1

Dirut PT.Obat Elc PMA.Inc.

Sungguh sangat tinggi

2. Anggota ISPI

3

Dosen /Kar.PMA/Pem.

Sangat tinggi & Loyal

3. Anggota PDHI

1

Dosen /Kar.PMA/Pem.

Sangat tinggi

4. Pemerintah

3

Kar.Deptan

Sangat tinggi & Loyal

5. Perguruan Tinggi

3

Dosen /Kar.Pem.

Sangat tinggi & Loyal

Kar.= Karyawan ; Pem.= Pemerintah Dari aneka sumber PPUI


Para anggota Tim 11, selalu merasa benar sendiri dalam pembuatan RUU-PKH dan mereka tidak menyadari bahwa untuk melahirkan UU diperlukan masukan dari berbagai pihak. Semakin banyak pemikiran dan partisipasi masyarakat peternak yang menyumbangkan konsep pemikirannya, UU itu akan berkualitas baik karena dapat mengakses kepentingan banyak pihak. Ada apa dengan Tim 11 dalam RUU-PKH ?

Memperhatikan formasi ini, RUU-PKH sangat berbahaya untuk diaujukan kepada DPR-RI karena telah bertentangan dengan UUD’45, UU No.5/1999, UU No.9/1999, UU No.32/2004 serta kemungkinan besar akan terjadi politik uang. Apalagi dicermati selama ini, usulan-usulan pada seminar RUU-PKH yang disampaikan peserta seminar dan diterima Tim 11, selalu tidak dimasukkan pada draft RUU-PKH. Memperhatikan prospek peternakan kedepan, apabila RUU-PKH masih tetap harus diubah, PPUI mengusulkan agar Tim 11 dibubarkan dan diganti dengan Tim lain yang lebih bersih dan memiliki kompetensi untuk berfikir adil karena UU untuk jangka panjang dan memberi kesempatan luas bagi semua rakyat untuk menjalankan dan mematuhinya.(♫♫♫)

Sudah sadarkah masyasrakat di perguruan tinggi terutama para Dosen Senior dan Junior yang telah menerima secara polos dan mentah konsep RUU, lalu dianggap RUU tersebut sebagian dari Pasal-Pasalnya telah sesuai dengan konsep dan tatanan keadilan, keseimbangan dan kesetaraan sesuai dengan aspek hukum lainnya yang berlaku serta sesuai dengan UUD 1945 yang berjalan. Memperhatikan terbentuknya beberapa produk hukum yang dihasilkan selama ini, banyak RUU yang di buat oleh pihak Asing sehingga pasal-pasalnya memihak pada kepentingan Asing terutama PMA yang berinvestasi di Indonesia. Janganlah Perguruan Tinggi di Indonesia dijadikan ajang “Regulation Loundring” (Pencucian Undang-Undang) yang seolah-olah RUU berasal murni dari masyarakat atau keinginan dan kebutuhan dari masyarakat padahal RUU tersebut adalah rekayasa pihak PMA di Indonesia.


Harapan dari peternak rakyat untuk mensolusi sektor perunggasan ayam ras adalah :

1. Ketentuan UU No. 6/1967 masih sangat relevan dengan kondisi perunggasan saat ini, karena UU ini lebih menekankan :

- Tentang memberi peluang pembukaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat,

- Memiliki muatan misi mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani

peternak”,

- Kecukupan gizi bagi masyarakat yang higienis, halal dan harga terjangkau/kompetitif,

- Expor.


2. Ketentuan UU No. 5/1999 Tentang Persaingan Usaha secara Sehat, agar dapat ditegakkan &

dijalankan secara benar.


3. Keppres No.22/1990 yang telah dicabut, harus segera diterbitkan Keppres pengganti yang telah selesai dibuat Draft finalnya oleh Tim Pokja Perunggasan Nasional pada bulan Juli-Agustus 1998 yang lalu tinggal ditanda tangani oleh Presiden. Tidak adanya Keppres dalam usaha perunggasan saat ini, otomatis usaha perunggasan kembali kepada UU No.6/1967 artinya Kemitraan dengan peternak rakyat yang selama ini ada merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap UU No.6/1967.


4. Keppres No.127/2001 tanggal 14 Desember 2001 Tentang Pencadangan Bidang Usaha Kecil pada Sektor Pertanian, hanya untuk peternakan ayam buras saja, tapi usaha Peternakan Ayam Ras yang telah berpotensi dan padat karya harus dimasukkan dengan mengganti “ayam buras” menjadi “ayam ras dan unggas buras lainnya”. (Keppres No.127/2001 harus segera direvisi)


5. Diperlukan kebijakan dan kesepakatan dari semua pihak dalam perunggasan Nasional yang dapat membenahi usaha perunggasan Nasional dan peternak rakyat kearah suasana usaha yang kondu­sif.


6.Penegakan hukum dan aturan didalam tataniaga usaha perunggasanNasional. Penyelewengan atas subsidi bagi peternak serta masih berjalannya praktek usaha yang monopolistik serta kartelisasi harus segera dikenakan sanksi atas pelanggaran hukum pidana serta sanksi dari UU No.5/1999.


7. Potensi pasar Nasional harus dimanfaatkan sebesarnya oleh pelaku usaha didalam negeri dan pelaku usaha peternakan rakyat mengambil porsi usaha dibidang budidaya sebesar-besarnya dan Perusahaan Pabrikan mengambil porsi dibidang pembibitan dan pakan serta budidaya daging/telur untuk ekspor.


8. Sangat diperlukan suatu segmentasi pasar baik didalam negeri maupun luar negeri sehingga pasar didalam negeri tidak menjadi ajang persaingan usaha yang negatif diantara pelaku bisnis unggas yang dapat memperlemah kekuatan ekonomi unggas didalam negeri untuk menghadapi pasar bebas mendatang.


9. Sangat diperlukan sistem informasi perunggasan Nasional yang akurat sehingga dapat menjadi alat pensetabil, peren­canaan serta menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan.


Untuk memperbaiki masa depan kita yang lebih baik, PPUI menghendaki semua pihak yang terlibat dalam wilayah usaha peternakan, waspadalah !!!!!, terhadap pihak asing yang telah mempengaruhi secara materi serta memasukkan pola pikirnya yang tidak merakyat, kedalam memori para penentu kebijakan kita baik di Pemerintahan,swasta maupun di perguruan tinggi mengenai konsep Globalisasi yang salah kaprah demi kepentingan keamanan investasi mereka dan sangat jelas akan menyingkirkan peran serta masyarakat banyak sebagai akibat tidak adanya lagi proteksi dibidang pertanian maupun peternakan. Kita harus segera melakukan percepatan kesiapan daya tahan ekonomi Nasional untuk menghadapi perdagangan bebas kedepan yang melibatkan peluang dan kesempatan masyarakat banyak. Pola pikir serta pola tindak untuk kebersamaan peningkatan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia sangat diutamakan. Apabila ini tidak diwaspadai, akan terjadi suatu gejolak yang lebih parah lagi dikemudian hari yang akan menghilangkan sinergi potensi bangsa Indonesia yang telah lama ada. Selanjutnya bebaskan INDONESIA dari penjajahan bangsa asing melalui ekonomi.(ASW)


Minggu, 19 April 2009

PPUI menolak RUU-PKH yang Sudah ada di PANJA DPR-RI


My title

RUU Peternakan & Kesehatan Hewan adalah

Inkonstitusional


Membaca harian KOMPAS tanggal 23 Februari 2009 pada halaman 18 berjudul “RUU Peternakan Disinsentif” dengan dasar bahasan sapi di Indonesia segera punah dikaitkan dengan bahasan DPR-RI tentang RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU-PKH) maka kami dari PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia) merasa bertanggung jawab untuk memberikan masukan tentang RUU-PKH ini kepada Pemerintah dan DPR-RI. Adapun masukan yang kami maksudkan adalah :

1. Unggas (Ayam pedaging dan Petelur) adalah termasuk kategori hewan kecil yang telah berjalan secara komersial sejak Tahun 1966 dan tahun 1980 ditambah dengan Broilerisasi (BIMAS Ayam Ras pedaging) hingga sekarang Tahun 2009. Perputaran uang pada bisnis ini telah mencapai lebih dari Rp. 100 Trilliun per Tahun.

2. Sapi adalah termasuk kategori hewan besar yang sudah sangat lama menjadi hewan komersial hingga sekarang Tahun 2009 dan perputaran uang pada bisnis sapi yang bersifat jangka panjang serta nilai komersialnya relative lebih kecil dengan bisnis perunggasan.

Memahami besarnya perbandingan perputaran uang pada dua butir diatas, maka sorotan utama pembahasan RUU-PKH sebenarnya adalah yang berkaitan dengan Perunggasan, walaupun kita tidak boleh mengabaikan masalah protein yang berasal dari sapi. Berita di harian KOMPAS tanggal 23 Februari 2009 tersebut adalah suatu indikasi upaya dari kelompok yang berkepentingan terhadap RUU-PKH untuk mengalihkan sasaran objek RUU-PKH dari peternakan Unggas kepada peternakan Sapi.

Subtansi UU6/67 adalah :

1. Kesempatan berusaha dan pemberdayaan lapangan pekerjaan,

2. Penyediaan protein hewani yang cukup dan terjangkau, serta pemberdayaan lahan tanah dan aneka potensi Dalam Negeri lainnya seperti, Pertanian jagung, padi-dedak, singkong/gaplek, kacang-kacangan dan Perikanan.

3. export.


Sedangkan substansi RUU-PKH adalah :

1. Industri yang terintegrasi,

2. Ketahanan pangan yang tidak mengerakkan pertanian, perikanan.

3. Hanya mengandalkan pasar dalam negeri.


RUU-PKH adalah Inkonstitusional :


Pada situasi krisis ekonomi Dalam Negeri yang belum pulih ditambah dengan dampak dari krisis keuangan Kapitalis global saat ini, Pola pembangunan ekonomi di Indonesia agar dapat berdaya tahan dan segera dapat bangkit adalah menjalankan kegiatan ekonomi yang bersifat Padat Karya/pemberdayaan masyarakat, dalam swasembada pertanian dan ini tercantum dalam UU No.6/1967. Menteri Pertanian/Pemerintah mengatakan UU N0.6/1967 tidak relevan lagi, padahal selama ini, UU No.6/1967 belum dijalankan dengan sepenuhnya oleh Pemerintah dalam membangun Peternakan di Indonesia. Adanya penggantian UU No.6/1967 dengan RUU-PKH maka terjadilah perubahan pola pembangunan Peternakan dari pola yang melibatkan sebanyak mungkin masyarakat untuk dapat berusaha dibidang Peternakan menjadi Usaha Peternakan yang dijalankan secara industri terintegrasi yang bersifat kapitalistis. Kita ketahui bersama pola kapitalistis saat ini sedang terpuruk dinegara kapitalis yang menjalar dalam negeri. Justru pemikiran RUU-PKH inilah yang tidak relevan. Hal ini dapat ditunjukkan setelah mempelajari Pasal-pasal dalam RUU-PKH yang sangat kental terinfiltrasi dengan pemikiran Kapitalis Global/PMA integrator yang saat ini menguasai lebih dari 60% bisnis unggas beromset lebih dari Rp.100T/Tahun di Indonesia.

Revisi terhadap UU No6 Tahun 1967 bukanlah hal tabu, tapi RUU-PKH yang ada sekarang yang akan menggantikan UU No.6/1967 adalah inkonstitusional karena berlawanan dengan :

a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan korelasi Pasal-Pasal lainnya;

b. UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 1970;

c. UU No.6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan;

yang masih berlaku sampai saat ini terutama melanggar Pasal 5, Pasal 8c dan Pasal 10 ayat 1; 2.

Bagi Pemerintah yang tidak menjalankan UU juga harus bertanggung jawab karena

membiarkan/membebaskan para pelanggar UU dalam periode yang cukup panjang.

d. UU No.6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

e. UU No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian;

f. UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil; yaitu Pasal 1,2,3,4 dan Pasal 6,7,8,9,10,11,12,13,14, Pasal 16, Pasal 26,27,28,29,30,31.

g. UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; yaitu Pasal 2,3,4,5,6,7, Pasal 11,13,,14,15 dan Pasal 17.

h. PP No. 16 Tahun 1977 Tentang Usaha Peternakan;

i. PP No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan;

j. PP No. 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil;

k. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Karena aktifitas dalam kawasan peternakan banyak berada di Daerah-daerah.


Memperhatikan serta menimbang bahwa dalam rangka memberikan jaminan kepastian usaha dan rasa keadilan berusaha bagi seluruh rakyat Indonensia, meningkatkan kesempatan berusaha serta efisiensi dan daya saing usaha peternakan ayam ras dalam globalisasi perdagangan saat ini telah diterbitkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang menjamin kepastian usaha peternakan ayam ras berupa :

Dasar pemikirannya yang diambil dari peraturan dan perundang-undangan tersebut diatas. Maka wajarlah bagi para Anggota DPR-RI yang sedang membahas RUU-PKH untuk segera menyadari bahwa RUU-PKH adalah inkontitusional dan kami mengharapkan agar RUU-PKH ini dibatalkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kehancuran dan adanya kelanjutan eksploitasi usaha peternakan di Indonesia oleh pihak asing.


Exploitasi Pihak Asing di Usaha Prunggasan Nasional :


Membaca dan memahami UU No.6 Tahun 1967 sebanyak 27 Pasal 9 Bab, diantaranya bunyi Pasal 2 adalah, “ Dibidang peternakan dan pemeliharaan kesehatan hewan diadakan perombakan dan pembangunan-pembangunan dengan tujuan utama penambahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia untuk dapat memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil merata dan cukup”. Selanjutnya pada Bab II Pasal 8 Tujan peternakan “Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk : c. mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani peternak”. Kemudian pada Pasal 10 tentang Peternakan Rakyat ayat (1) Pemerintah mengusahakan agar sebanyak mungkin rakyat menyelenggarakan peternakan.

Melihat kenyataan perunggasan Nasional sejak Tahun 1979 sampai sekarang ini, sangat banyak pihak swasta perusahaan besar PMA dan Pemerintah melanggar Pasal-pasal didalam UU No.6/1967tidak ditindak. Peternakan rakyat semakin lama semakin sangat berkurang dan bahkan nyaris hilang, apalagi dengan upaya mempertinggi taraf hidup bagi rakyat petani peternak semakin jauh saja.

Kita berharap dan beranggapan selama ini, dengan masuknya investasi asing dibidang peternakan unggas, akan terjadi perkembangan dan pertumbuhan usaha rakyat untuk mempertinggi taraf hidup rakyat, sesuai dengan bunyi Pasal 2 yang menyatakan pembangunan peternakan di Indonesia harus diselenggarakan secara adil dan merata, tidak saling melakukan pemerasan seseorang terhadap orang lain (Pasal 5). Malah kenyataannya adalah sebaliknya dan terlihat nyata pihak Pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan matinya usaha peternakan rakyat selama ini.

Kenaikan/penurunan yang tajam harga bibit DOC yang mendadak dan serentak disemua Breeding Farm (BF) begitu juga dengan kenaikan/penurunan harga Pakan disemua Perusahaan Makanan Ternak (PMT) tanpa melalui upaya musyawarah terlebih dahulu dengan pelaku unggas terkait, bentuk kejahatan ekonomi seperti apakah ini ? Tidakkah ini merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 5 tersebut ? Masuknya para perusahaan PMA kedalam usaha budidaya komersial sehingga menggusur usaha budidaya rakyat adalah juga merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap Pasal 8 UU No.6/1967. Selama ini Pemerintah belum menjalankan UU No.6/1967 ini secara benar dan konsekwen. Hal ini terbukti dengan semakin terpuruknya usaha budidaya peternakan unggas yang dilakukan oleh Peternak rakyat mandiri dan kondisi inilah yang memicu permasalahan perunggasan Nasional selama ini.

RUU-PKH adalah Legalisasi Kejahatan Ekonomi Secara Monopoli, Monopsoni & Kartel :

RUU-PKH adalah wujud legalisasi terhadap kejahatan ekonomi Monopoli & Kartel, Monopsoni yang berjalan selama ini yang dilakukan oleh Perusahaan PMA. RUU-PKH sangat berlawanan dengan UUD’45, UU No.6/67(PKH), UU No.9/95 (Membaca dan memperhatikan Usaha kecil) UU No.5/99 (persaingan usaha) dan UU Otda.

Kita ketahui bersama, bahwa potensi ayam ras Nasional cukup besar terutama :

- Potensi Pasar Indonesia adalah No.4 terbesar di dunia.

- Kebutuhan Pasar Daging Unggas Nasional ± 1,2 - 1,5 Juta Ton/Tahun.

- Kebutuhan DOC ± 1,2 -1,5 Milyar ekor/Tahun.

- Kebutuhan Pakan ± 7 - 8 Juta Ton/Tahun.

- Perputaran uang di usaha unggas Nasional lebih dari Rp. 100 Trilliun/Tahun.

- Dapat menyerap kesempatan usaha bagi ± 24.000 alumni Fapet & FKH.

- Lapangan pekerjaan ± 240.000 orang tenaga kerja di kandang (± 5.000 ekor/orang).

- Total SDM yang terlibat dalam usaha perunggasan sebanyak ± 2,5 juta orang.

Potensi yang besar ini, bagi Pemerintah sangat berpeluang untuk dapat melakukan percepatan pendapatan masyarakat dengan melibatkan rakyat sebanyak-banyaknya disektor peternakan unggas ayam ras. Oleh karena itu UU No.6/1967 yang masih relevan ini telah mencantumkan kepentingan rakyat banyak untuk terlibat didalam sektor ekonomi peternakan dan sudah merupakan hak yang utuh bagi masyarakat banyak yang telah tertuang-terpateri dalam bentuk UU No.6/1967.


RUU-PKH Mematikan Swasembada Peternak Mandiri Berbasis Kerakyatan :


Apabila UU-PKH ini dipaksakan dan disyahkan menjadi UU baru maka potensi ekonomi yang dimiliki oleh para peternak rakyat serta investasi Pemerintah selama ini akan sirna seperti :

- Peluang 80.000 lebih peternak rakyat akan kehilangan mata pencarian.

- Terjadinya pengangguran sebanyak ±200.000 para pekerja kandang.

- Hilangnya nilai investasi Trilliunan rupiah dana Pemerintah sejak perintisan Bimas & Inmas

Ayam Ras.

- Hilangnya peluang usaha bagi ± 24.000 alumni Fapet & FKH.

- Hilangnya peluang pekerjaan bagi ± 240.000 orang tenaga kerja baru di kandang.

- Hilangnya total SDM yang terlibat dalam usaha perunggasan sebanyak ± 2,5 juta orang.

- Tidak bisa diharapkan stabilnya produksi jagung Dalam Negeri.


Kesempatan masyarakat banyak dalam perputaran uang di usaha unggas Nasional lebih dari Rp. 100 Trilliun/Tahun akan hilang dan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan integrator PMA. Bila keuntungan integrator PMA. 15%/Tahun, maka perusahaan integrator memiliki keuntungan ± Rp. 15 Trilliun/Tahun selanjutnya bila umur UU dapat mencapai ± 30 Tahun maka perusahaan integrator memiliki peluang keuntungan sebesar 30 x Rp. 15 Trilliun/Tahun adalah ± 450 Trilliun (merupakan nilai UU). Seandainya RUU-PKH dalam proses pengesahan di DPR-RI apalagi menjelang PEMILU ini terjadi politisasi serta kemungkinan manipulasi uang dalam milyaran rupiah, betapa sangat murahnya nilai DPR-RI tersebut.

Tahun 2007 yang lalu hingga 2008 adalah tahun paceklik dan kematian bagi peternak rakyat dan tahun mas/kejayaan bagi perusahaan integrator terutama PMA disebabkan :

1. Pangsa pasar yang dimiliki peternak rakyat di pasar tradisional selama ini, akan diambil sepenuhnya oleh para perusahaan integrator PMA, sebagai dampak Kartelisasi & Monopoli usaha PMA sehingga penguasaan pasar bagi usaha PMA menjadi ±60% lebih (Monopoli murni pelanggaran UU 5/99).

2. Kandang-kandang para peternak rakyat yang telah kosong, sekarang ini disewa oleh perusahaan integrator PMA.(Peternak menjadi buruh kacung dikandang dan dilahannya sendiri)

3. UU-PKH dan UU-PMA yang baru memihak kepada para perusahaan Asing dan menyudutkan usaha ekonomi rakyat dan UU-PKH adalah sinkronisasi dari UU-PMA yang telah disyahkan DPR-RI.


Karena UU No.6 Tahun 1967 tidak dijalankan maka bisnis beromzet lebih dari Rp.100T tersebut dikuasai PMA & PMDN kapitalis > 60% (PMA Thai > 40%). Kondisi ini yang menurut mereka PMA integrator saat ini menguasai >60% pangsa pasar Nasional. (Produsen DOC dan Pakan ternak Nasional dikuasai 70% oleh PMA integrator)

Potensi pasar Dalam Negeri yang cukup besar ini, harus memberikan dampak peluang usaha sebesar-besarnya bagi masyarakat banyak sesuai dengan misi UUD 1945 dan UU No. 6/1967. Oleh karena itu, para pelaku perunggasan Nasional bersama Pemerintah bersegera merubah pola pikir dan pola tindak kearah pemberdayaan masyarakat Indonesia ke depan dalam menyongsong kebangkitan bangsa Indonesia yang diidamkan dan di cita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia tercinta ini selanjutnya menantikan tindakan nyata keberpihakannya kepada Rakyat Indonesia.


Jakarta, 28 Februari 2009.

Dewan Pimpinan Pusat

Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (DPP-PPUI)


Tembusan disampaikan Kepada Yth,

1. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),

2. Ketua MPR RI,

3. Kejaksaan Agung RI di Jakarta;

4. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta;

5. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta;

6. KAPOLRI di Jakarta;

7. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI di Jakarta;

8. Menteri Pertanian RI di Jakarta,

9. Assosiasi-Assosiasi Peternakan.

10. Media Massa.

Sabtu, 11 April 2009

Untuk Semua Masyarakat Peternak Unggas


My title

Menarik untuk diperhatikan adalah masuknya HE bermasalah dari Malaysia pada beberapa bulan yang lalu berbagai asosiasi mencoba untuk menolak importasi HE tersebut mengingat Malaysia masih mewabah penyakit AI. Penolakan tersebut sah-sah saja karena hal tersebut sangat selaras dengan UU No.6/1967. Lalu beberapa pekan kemudian, asosiasi yang menyebut dirinya untuk bidang informasi pemasaran unggas ini dengan sangat cepat bungkam dan tidak sama sekali berani mengungkit permasalahan HE-Malaysia tersebut. Perilaku bungkam ini terlihat sejak PPUI turut serta untuk mengungkap kasus HE-Malaysia ini. Perlu diketahui, berjangkitnya AI tahap kedua di Indonesia ini, adalah disebabkan HE-Malaysia ini. Terbukti pada beberapa breeding-farm milik perusahaan PMA pengimpor yang berasal dari Malaysia dan Thailand, kasus penyakit AI muncul pertama kalinya sehingga menurunkan populasi DOC-FS Nasional sehingga produksi DOC hanya tinggal dibawah 18 Juta per pekan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi peternakan rakyat untuk memperoleh DOC karena DOC yang populasinya terus menurun, sebanyak lebih dari 70% masuk kekandang komersial PMA sendiri bersama kemitraannya. Belum selesai kasus HE-Malaysia ini, lalu beberapa saat kemudian muncul upaya kuat untuk memasukkan daging asal Malaysia yang didukung oleh SK Dirjen Binpronak Surat Keputusan No. 832/HK-340/F/03.05 yang membolehkan masuknya produk unggas dari Malaysia. Secara logika sehat, tidak mungkinlah kita berani untuk memasukkan suatu produk makanan dari negara yang sedang mewabah penyakit yang berbahaya dan kita tahu Malaysia belum dinyatakan bebas dari penyakit AI. Untunglah pada tanggal 27 April 2005 Menteri Pertanian menyatakan bahwa SK No. 832/HK-340/F/03.05 dicabut dan tidak berlaku lagi.

Akhir-akhir ini, harga DOC kembali naik menjadi Rp. 2.800,-/ekor dan harga Pakan juga naik menjadi Rp.2.900-3.000,-/Kg. Walaupun harga ayam panen cukup bagus yaitu kisaran Rp. 8.300,-/Kg hidup dan harga ini juga merupakan harga yang sangat sementara, bagi peternak rakyat, harga ini tidak mendatangkan manfaat yang menggairahkan usaha budidaya.

Kali ini Media “Peternakan Rakyat”memuat artikel yang menggelitik, lugas, faktual dan tanggap. Selamat membaca. (Red).


Bila Usaha Peternakan Rakyat Kondusif,

Peternakan akan Beralih Menjadi Usaha Pokok


Memperhatikan Pasal 9 UU No.6/1967 ayat 2 dikatakan “Peternakan rakyat ialah peternakan, yang dilakukan oleh rakyat antara lain petani disamping usaha pertaniannya”, oleh Tim 11 (Tim yang tidak aspiratif, tidak mewakili semua pihak peternakan) sebagai pengusung RUU pengganti UU No.6/1967 dikatakan sebagai bagian beberapa dasar untuk mengubah UU karena peternakan sebagai usaha sampingan bagi peternakan-rakyat. Dalam hal ini, seolah-olah Tim 11 ingin menjadikannya sebagai usaha pokok. Membaca keseluruhan RUU-PKH yang merupakan produksi Tim 11, tidak ada satupun kata peternakan-rakyat dan bahkan sepertinya kata peternakan-rakyat diharamkan untuk tercantum didalam RUU tersebut.

Pengertian “peternakan yang dilakukan oleh rakyat antara lain petani disamping usaha pertaniannya” harus dipahami sebagai usaha peternakan yang dilakukan oleh petani secara simultan sebagai usaha pokok berbarengan dengan usaha pertaniannya. Petani juga bisa berkembang menjadi petani yang memiliki wawasan manajemen. Yang dimaksud petani dalam UU No.6/1967 adalah petani yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kemampuan petani yang berkembang. Selama ini kita menganggap petani & peternak sebagai sosok yang rendah pendidikan, bodoh, lugu, susah maju, ini adalah anggapan yang sangat salah.

Persoalan yang selama ini dihadapi oleh peternak, adalah lahan atau wilayah usahanya yang digusur oleh perusahaan PMA integrated bermodal besar. Matinya usaha peternakan-rakyat, disamping usaha budidaya komersialnya yang digusur, juga pasar tradisional dirampas oleh perusahaan PMA integrated, selanjutnya struktur harga pokok usaha rakyat juga digrogoti dengan adanya kejahatan ekonomi secara Kartel DOC dan Pakan. Usaha budidaya yang dilakukan oleh peternakan-rakyat layaknya seperti bermain judi karena tidak adanya kepastian pasar. Kenyataan ini adalah merupakan suatu proses pembunuhan usaha peternakan rakyat yang telah berlangsung sejak tahun 1980 tanpa adanya kemampuan perlindungan dan pencegahan oleh Pemerintah. Hal ini berjalan karena banyaknya oknum Pemerintah yang memperkaya diri dalam jabatannya menyalahgunakan wewenangnya. Mereka bancakan melalui program penanggulangan, pemberantasan, pengentasan dan pemberdayaan yang direkayasa dijadikan proyek-proyek sehingga menjadi mata-anggaran APBN & APBD yang nilainya ratusan milyar setiap proyek. Disinilah banyak rekayasa kwitansi, bon pembelian dan segala-macam ikutan administrasi berlangsung sejak tahun 1966 hingga kini yang dapat menutupi manipulasi keuangan Negara dan Daerah. Sehingga apabila diperiksa oleh BPK dan BPKP serta inspektorat tidak terbukti korupsinya. Mereka makan layaknya seperti anjing Srigala memakan mangsanya.


Keberadaan UU dan PP serta Keppres, Kepmen, Perda adalah untuk dasar hukum agar setiap individu dalam masyarakat dapat menjalankan kegiatan Politik, ekonomi, sosial dan budaya secara teratur dan tidak terjadi benturan antar sesamanya. Sehingga konflik dapat diperkecil, semua bisa hidup. Selama ini terjadi adalah UU-nya ada, pelaku Pemerintahnya ada yang berfungsi sebagai alat untuk menjalankan UU, akan tetapi tidak berjalan baik dan banyak yang berubah menjadi oknum/manipulator sehingga dapat dijadikan Instansi para-oknum Departeman maupun para-oknum Pemerintahan daerah. Sebaik apapun UU apabila aparat Pemerintah banyak yang memanipulasi pelaksanaan UU, sasaran Pemerintah tidak akan jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dibidang peternakan.

Dalam politik pembangunan masyarakat banyak, diperlukan suasana penciptaan iklim usaha dan produktifitas masyarakat yang kondusif sehingga usaha rakyat banyak tidak terganggu. Suasana usaha produktif yang kondusif ini akan bertumbuh dan memperkuat landasan ekonomi masyarakat. Apapun bentuk usaha yang dilakukan oleh rakyat banyak dalam suasana usaha yang kondusif, akan menjadikan wadah usahanya menjadi usaha pokok bukan lagi usaha sampingan. Suasana yang kondusif dalam peternakan hanya dapat berjalan apabila UU No.6/1967 benar-benar ditegakkan dan berjalan. (♫♫♫)


!!! Hati-Hati mengkonsumsi MSG !!!

Serangkaian riset menunjukkan MSG (Monosodium Glutamat) yang selama ini dijadikan bumbu penyedap rasa disebut juga vetsin yang paling popular disejumlah negara termasuk Indonesia, ikut berperan memicu munculnya puluhan gejala penyakit dan multifungsi jaringan tubuh.

MSG dikemas dalam aneka merek dan akan kita temukan sebagai bumbu penyedap ( Sasa, Miwon, Masako, Biomiwon, Sajiku, Ajinomoto) tidak hanya dalam bumbu masakan dirumah, restoran, hotel-hotel bahkan juga disejumlah rumah-sakit. MSG yang paling sering digunakan adalah didalam macam-macam jenis merek mie-instan (Indomie, Supermie, Sarimie dan lain-lain) dan jajanan anak-anak (Taro, Chiki dan lain-lain).

Tahukah anda bahwa MSG sesungguhnya bisa mengerogoti kesehatan manusia. Selama lebih dari lima tahun ini, serangkaian penelitian di Amerika, telah terbukti bahwa MSG dan turunan analognya bisa menimbulkan aneka gejala penyakit. Migran-Web adalah situs kesehatan yang dikelola oleh para dokter dan spesialis neurology di AS melaporkan bahwa MSG ikut berperan dalam memicu malfungsi system organ/jaringan yang sedikitnya delapan kategori. Sementara Debby Anglesey penulis buku “Battling the MSG Myth, A survival Guide and cookbook” dalam msgmyth.com mengatakan keyakinannya bahwa MSG dapat menimbulkan sekurang-kurangnya 32 gejala penyakit. Mulai dari kelainan jantung, darah rendah, saluran darah tak normal, gangguan syaraf (depresi, disorientasi, bimbang, hiperaktif, sakit kepala, migrain), gangguan pencernaan (mual, muntah, diare, kram perut, iritasi lambung), gangguan saluran pernafasan (asma, sesak nafas, dada sakit, bersin), gangguan kulit (kulit kasar, mulut kering), gangguan saluran urologis (gejala prostat dan nokturia), gangguan visual (penglihatan kabur, mata sulit fokus, gelap temporer).

Bagi anak-anak balita yang mengkonsumsi makanan jajanan ber-MSG, biasanya setelah makan jajanan perutnya merasa kenyang terus sehingga sulit untuk makan nasi bersama lauk protein dan sayuran, sehingga mengganggu pertumbuhan anak.

Menurut Debby Anglesey 30 – 40% penduduk dunia pernah mengalami “MSG Symptom Complex” akan tetapi kebanyakan dari kita belum menyadarinya bahkan banyak Dokter, ahli diet dan publik dibidang kesehatan tidak tahu efek-efek racun dari MSG.

Pabrikan MSG selalu menolak pendapat diatas dengan mengatakan bahwa MSG adalah sejenis asam-amino-non-esensial yang berperan sebagai neurotransmitter, karenanya perlu ditambahkan dalam masakan. Pada saat yang sama mereka menyembunyikan fakta bahwa senyawa buatan itu pula yang merusak syaraf penduduk, terutama balita dan remaja.

Kabar tentang efek negatif MSG sebenarnya sudah lama dilansir oleh media asing dan gencar-gencarnya sejak periode Juni 1999 – Mei 2000 tak kurang dari 13 media melaporkan kasus-kasus syndroma MSG-complex, terutama setelah terbentuknya lembaga NOMSG (National Organization Mobilized to Stop Glutamate) yang dipimpim oleh Kathleen Schwartz dan Debby Anglesey sebagai wakil.

Solusi untuk menggantikan MSG adalah kembali kepada penyedap-rasa nenek-moyang kita yaitu penyedap masakan dengan hanya menggunakan campuran yang seimbang antara Garam dan Gula. (Semoga keluarga anda lebih sehat). (♫♫♫)


UU No.6 Tahun 1967 memiliki Sanksi Hukuman Bagi

Pelanggarnya Tertuang Dalam PP No.15 Tahun 1977


Dalam sebuah seminar baru-baru ini, ada seorang pembicara menyatakan dengan angkuhnya, bahwa didalam UU No.6/1967 belum dirinci Pasal tentang sanksi hukum terhadap pelanggaran. Kita ketahui bersama, bahwa UU No.6/1967 adalah merupakan Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan Dan Kesehatan Hewan sehingga tidak rinci didalam Pasal-Pasalnya. UU No.6/1967 didalam Pasal 18 ada dinyatakan “Untuk memajukan peternakan dilakukan usaha-usaha membuat Peraturan Pemerintah (PP) yang bertujuan untuk mendorong, membantu, mempercepat kelangsungan pembangunan dibidang peternakan”. Oleh karena itu, UU No.6/1967 tidak dapat dilepaskan bersama PP No.15 Tahun 1967 serta Keppres dan Kepmen yang terkait.

Salah satu contoh, atas pelanggaran UU No.6/1967 Pasal 20 “Penyakit Hewan”, sanksinya ada dalam PP No.15 Tahun 1977 pada Pasal 10 Bab V “Hukuman Pidana” yang isinya, “Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 3,4 dan 5 diancam dengan Pidana Penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun”.

Kasus SK No. 832/HK-340/F/03.05 importasi daging unggas dan HE dari Malaysia baru-baru ini, dimana negara Malaysia mewabah penyakit AI, apabila hukum di Indonesia masih ditegakkan, perusahaan pengimpor dan Dirjen yang memberi izin pemasukan komoditi dari negara yang berpenyakit, dapat dihukum selama 2 (dua) tahun. (♫♫♫)


Renungan :

“Yang merusak dan menghancurkan ekonomi, budaya bangsa Indonesia adalah kelompok orang yang berasal pendidikan dari Perguruan-Tinggi/sarjana bahkan posisinya Guru-Besar. Inikah hasil Tridharma perguruan Tinggi ? ”


Sana - Sini :


Baru-baru ini, Pj. Ketua Umum DPD-PPUI dikunjungi oleh pejabat senior dari perusahaan PMA terbesar integrator di Indonesia. Saat berkunjung dirumah kota Cirebon, yang pertama ditanya oleh tamu tersebut adalah “mengapa PPUI bersikukuh untuk menolak RUU penganti UU No.6/1967 ?” Akhirnya, sang tamu dikuliahi mengenai akhlak yang baik. Kembalilah kejalan yang benar. Bahan renungan sang tamu dalam perjalanan ke Jakarta. Siapa bilang PMA tidak turut campur dalam RUU pengganti UU No.6/1967.

Ternyata para pemimpin kita baik di executif maupun di legislatif dalam Pemerintah Pusat dan Daerah, banyak yang menjadi maling dan mengkhianati rakyatnya. (♫♫♫)


KONSPIRASI KAPITALIS ASING PADA SEKTOR USAHA PERUNGGASAN INDONESIA


Sejak terbentuknya UU No.6 Tahun 1967, usaha perunggasan Indonesia telah memasuki tahap awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan besarnya perputaran uang pada usaha di sektor ini. Jerih-payah Pemerintah untuk men-sosialisasikan ayam-ras dimasyarakat agar mau memakan daging dan telur ayam-ras serta mau membudidayakan ayam-ras untuk pendapatan tambahan masyarakat adalah sangat berhasil dan telah menyerap tenaga dan dana triliunan rupiah untuk membiayai program sosialisasi budidaya ayam-ras dengan nama program Inmas-Bimas Perunggasan pada periode itu.

Pada periode Inmas-Bimas Perunggasan, Pemerintah telah memprogram bidang-bidang usaha bagi masyarakat yaitu sektor hulu dengan pabrik Pakan (Feedmill) dan Pembibitan (Breeding Farm) dapat dikelola oleh swasta baik untuk PMA maupun PMDN. Sedangkan sektor hilir untuk budidaya, pemotongan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat peternak dan pemasarannya adalah pasar-pasar tradisional didalam negeri. Periode awal pertumbuhan yang dapat disebut periode emas perunggasan Nasional, telah merambah kemasyarakat sehingga menjadi usaha sampingan/utama yang sangat diminati masyarakat. Pada saat itu lahirlah wadah asosiasi peternakan rakyat dengan nama Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) pada tanggal 11 Januari 1970.

Periode sampai dengan Tahun 1980-an dimana berlakunya Keppres No.50 Tahun 1981 sampai dengan Tahun 1985 adalah merupakan periode puncak kemampuan kandang budidaya-komersial peternakan-rakyat yang dapat mensuplai kebutuhan protein hewani asal unggas untuk kebutuhan Nasional. Pada saat itu, perputaran uang dalam bisnis perunggasan Nasional telah mencapai ±Rp. 10 Triliun per Tahun (suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu). Periode tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 pertumbuhan kebutuhan protein hewani unggas ras ini meningkat terus sehingga dapat mencapai perputaran uang ±Rp. 20 Triliun per Tahun. Pada periode inilah perusahaan PMA mulai memaksakan diri memasuki lahan usaha budidaya peternakan rakyat dengan cara mereka membentuk dan membuat perusahaan-perusahaan dibidang perunggasan berstatus PMDN. Kemudian Breeding Farm (BF) mereka mengeluarkan DOC (Day Old Chick) secara berlebihan dengan target terjadinya over-suplai di peternak rakyat dan itu terjadi sehingga terjadi permasalahan dan benturan peternakan-rakyat dengan Pemerintah. Selanjutnya untuk memuluskan rencana mereka (PMA) memasuki lahan usaha peternakan rakyat, melalui tokoh perusahaan PMDN dipengaruhilah banyak oknum pejabat Pemerintah di Departemen Pertanian cq. Direktorat Peternakan pada saat itu untuk menggantikan Keppres No.50 Tahun 1981 dan diisukan adalah Keppres yang tidak aspiratif lagi melalui banyak Seminar oleh para pakar-sarjana yang dibayar oleh perusahaan PMA tersebut. Banyak para pakar peternakan saat itu tidak sadar bahwa dia telah menggunakan keahliannya untuk menghancurkan usaha rakyatnya sendiri turut serta bersama perusahaan PMA menggusur usaha budidaya peternakan rakyat. Penggusuran ini tentu saja melalui Keppres baru pengganti Keppres No.50 Tahun 1981 sehingga terbitlah Keppres No.22 Tahun 1990 yang isinya sudah dimasuki pemikiran dan kepentingan pihak asing melalui tangan para ahli dan pakar peternakan kita. Keppres No.22 Tahun 1990 berakhir pada bulan 23 Juni 2000 berdasarkan Keppres No.85 Tahun 2000. Pada saat itu yang terjadi adalah Intervensi serta pelanggaran terhadap peraturan Pemerintah dan UU yang dilakukan para perusahaan PMA & PMDN sekutu mereka sehingga posisi budidaya-komersial peternakan rakyat yang tadinya ± 90% kini hanya tinggal kurang dari ±10%-nya. Pada periode konspirasi mereka, perusahaan PMA mensponsori terbentuknya beberapa asosiasi perunggasan diantaranya GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), GAPPI (Gabungan Perusahaan Peternakan Indonesia) serta nama yang lainnya dan pengurus asosiasi bentukan PMA ini, didominasi oleh orang-orang mereka sehingga suara asosiasi memihak kepada kepentingan PMA. Pada periode 1985 sampai berlakunya Keppres No.22 Tahun 1990 hingga kini, PPUI sangat gencar menyuarakan kepentingan peternak-rakyat yang semakin hari semakin tidak diperhatikan dan dikerdilkan serta banyaknya oknum Pemerintah dan Legislatif saat itu yang memihak pada kepentingan PMA. Kentalnya keberihakan Pemerintah dan Legislatif saat itu, terlihat pada periode sejak bulan Desember 1997 terjadi dampak krisis ekonomi Nasional pada sektor perunggasan sehingga harga pokok usaha sangat tinggi karena harga pakan ternak yang sangat mahal, Pemerintah melalui beberapa kajian dengan semua pihak dalam sektor perunggasan, disepakatilah “Dana Crash Program Perunggasan” yang diperuntukkan bagi usaha peternakan-rakyat diantaranya adalah : - Dana Crash Program Unggas = 150 Juta US $. - Dana dari JAMSOSTEK = 300 Milyard Rupiah.- Dana Subsidi Perunggasan = 1,9 Trilliun Rupiah. - Dana KKPA Peternak Unggas = 300 Milyard Rupiah. Apabila ditotal keseluruhannya berjumlah ±Rp. 4 Trilliun. Dari dana-dana ini, yang telah cair sejumlah uang yang telah dialokasikan untuk mensubsidi import bahan baku Bungkil Kacang Kedelai (BKK) dan ternyata Subsidi ini juga telah diselewengkan oleh perusahaan PMA dan kasusnya saat ini sedang ditangani MABES POLRI dan KPK serta KEJAKSAAN AGUNG RI. Serta masuk dalam program 100 hari “Kabinet Indonesia Bersatu”. Penyelewengan yang dilakukan perusahaan PMA ini adalah berupa : - Manipulasi harga pakan unggas melalui kurs impor BKK 1 $ =Rp. 5.000,- - Impor fiktif bahan baku pakan BKK seolah-olah dari beberapa pelabuhan. -Manipulasi PPn 10% atas penjualan harga pakan.

Nilai manipulasi harga pakan melalui import BKK diperhitungkan oleh Tim DITIII/Pidana Korupsi&WCC MABES POLRI sebesar Rp. 841 Miliar belum termasuk manipulasi PPn 10% dan merugikan perekonomian negara sebesar Rp.982,13 Miliar.

Dana program untuk perunggasan diatas, sebagian besar dapat diselamatkan serta distop penyalurannya karena PPUI pada saat itu sangat gencar pemberitaannya mengenai perekayasaan antara Dirjen Peternakan berkolusi dengan beberapa perusahaan PMA & PMDN unggas yang manipulatif dimedia massa dan DPR-RI serta memberi penjelasan kepada Bank Indonesia tentang konspirasi jahat yang akan mereka lakukan terhadap “Dana Crash Program Perunggasan” tersebut. Termasuk PPUI menjelaskan telah berjalannya praktek usaha secara Monopoli dan Kartel yang dilakukan oleh perusahaan PMA (pelanggaran UU No.5 Tahun 1999).

Tidak sampainya “Dana Crash Program Perunggasan” kepada peternak–rakyat, mengakibatkan banyak peternak yang usahanya gulung tikar. Konspirasi jahat yang dilakukan adalah mempengaruhi para oknum Pemerintah Departemen Pertanian dan Deparemen Perdagangan membuat Keppres No.127 Tahun 2001 tentang “Pencadangan Bidang Usaha Kecil” sektor usaha kecil budidaya ayam-ras tidak termasuk malah yang dimasukkan adalah ayam-buras. Artinya adalah peternakan-rakyat budidaya ayam-ras tidak mendapat perlindungan lagi. Hal ini merupakan konspirasi yang sangat gamblang untuk menghilangkan peranserta peternak-rakyat yang telah lama membesarkan potensi ekonomi perunggasan Nasional sehingga budidaya-komersial yang tadinya dikelola peternakan-rakyat sekarang sepenuhnya diambil alih oleh perusahaan PMA.

Sia-sialah jerih-payah yang selama ini difokuskan kepada ayam ras tiba-tiba Pemerintah menggantikannya dengan ayam buras (ayam kampung) untuk peternakan rakyat (UKM).

Berdasarkan keunggulan ayam ras, sebenarnya Pemerintah harus memperi­oritaskan dan mencadangkan usaha ayam ras ini untuk usaha peter­nakan rakyat. Hal ini sangat rasional karena dengan produktifitas yang tinggi serta periode panen yang singkat, akan sangat andal untuk percepatan peningkatan pendapatan masyarakat banyak dalam hal ini peternakan rakyat. Tidakkah ini merupakan pelanggaran terhadap UU No.6/1967 ? yang jelas-jelas mematikan usaha peternakan rakyat ayam ras yang sudah sangat lama digeluti ? Para dosen dan mahasiswa peternakan serta para ahli di balai penelitian, dalam hal ini semuanya diam dan tidak ada yang mampu mencuatkan pemikirannya yang bersih, netral dan merakyat untuk mengkritisi Keppres No.127/2001 ini yang nyata menyingkirkan usaha ekonomi rakyat yang telah berjalan. Ada apa dengan mereka ?

Agar terjadi sinkronisasi Aturan UU, PP dan Keppres, Pemerintah secepatnya merevisi Keppres No.127/2001. Setelah dapat direvisi, barulah ditebitkan segera Keppres baru dalam perunggasan Nasional yang telah selesai draft finalnya oleh Tim Pokja Perunggasan Nasional Juli 1998 yang lalu SK-Mentan No.621/Kpts/KP.150/7/98.

Sejak bulan November 2001 s/d akhir Mei 2002 publikasi menge­nai Chicken Leg Quarter (CLQ) dimedia massa sangat besar dan berlebihan sehingga menjadi opini Nasional. Dalam penilaian kita, energi perunggasan Nasional dan masyarakat konsumen terbuang percuma. Besarnya publikasi mengenai penolakan impor CLQ ini, melibatkan Menteri Pertanian RI dan Dirjen Bina Produksi Peternakan (Dirjen BPP), DPR-RI Komisi III yang dibiayai besar-besaran oleh para perusahaan kelompok Kartel & Monopoli perunggasan Nasional (GPPU + GAPPI + GPMT). Isu yang dipublikasikan dalam penolakan CLQ ini adalah demi mempertahankan usaha peternakan rakyat serta usaha kecil menengah (UKM), halali­sasi, kesehatan dan bea masuk. Dilain pihak sebelum ribut CLQ bahwa peternakan rakyat dan UKM sektor perunggasan sebagian besar banyak yang mati usahanya dimulai sejak tahun 1981 s/d 1999 sebagai akibat adanya Kartel & Monopoli perunggasan Nasional oleh PMA & PMDN sekutunya. Dalam logika yang masih sehat, mungkinkah para perusahaan PMA ini mau membiayai penolakan CLQ secara besar-besaran kalau mereka tidak benar-benar sebagai pelaku Kartel & Monopoli didalam usaha perunggasan Nasional dan sebenarnya usaha merekalah yang paling terancam dan terdesak !!!

Peternakan rakyat yang dibunuh usahanya oleh pelaku Kartel & Monopoli sama sekali tidak diperhatikan DPR-RI & Pemerintah, tapi CLQ yang jumlahnya kecil yang mengancam PMA & PMDN dibela mati-matian oleh Pemerintah cq. Menteri Pertanian dan Dirjen BPP begitu juga DPR-RI Komisi III. Penyelenggara Negara saat itu sangat tanggap dan bereaksi keras membela para perusahaan PMA dan malah berada digarda penolakan paling gigih dibarisan terdepan.

Pada saat itu, PPUI sangat kecewa terhadap kinerja instansi terkait yang sekarang disebut Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan yang tidak pernah menggubris protes PPUI terhadap adanya kejahatan ekonomi Unggas (Monopoli & Kartel Usaha) yang telah-lama mematikan usaha peternakan rakyat, maka isu dan impor daging ayam CLQ ini adalah sangat efektif untuk memukul para PMA ini sehingga terhukum secara mekanisasi pasar dan terbukti adanya impor CLQ harga DOC, Pakan dan karkas saat itu menjadi turun dikonsumen.

Kita harus segera melakukan percepatan kesiapan daya tahan ekonomi Nasional untuk menghadapi perdagangan bebas kedepan. Apabila ini tidak diwaspadai, akan terjadi suatu gejolak yang lebih parah lagi dikemudian hari yang akan menghilangkan sinergi potensi bangsa Indonesia yang telah lama ada. Bebaskan Indonesia dari penjajahan ekonomi bangsa asing. (♫♫♫)